Tuesday, July 27, 2004

blame it on my youth

If, I expected love, when first we kissed, blame it on my youth
If only just for you, I did exist, blame it on my youth
I believed in everything
Like a child of three
You meant more than anything
You meant all the world to me

If, you were on my mind, all night and day, blame it on my youth
If, I forgot to eat, and sleep and pray, blame it on my youth
If I cried a little bit, when first I learned the truth
Don’t blame it on my heart, blame it on my youth

blame it on my youth, jamie cullum

Thursday, July 15, 2004

laki laki itu

sorang laki laki berada di tepi
dunia yang mengabur
dilembarlembar buku hariannya
gamang dan mungkin jatuh
 
ketika kaligrafi caya yang jauh
melukiskan ceritacerita indah    
                                    negeri impian
"tunggu aku disana"
begitu bisiknya tiap kali

dan di pagi
ditunggunya di timur
matahari yang itu-itu saja

sumberkembar, 170899

candu tiga puluh senja

                                         untuk ati
 
barangkali kau inginkan hati
tapi sepi yang kembali

lalu kau taburkan
candu pada tiga puluh senja

juga lagu malam
dalam tawa genit
dan bisik menggoda

barangkali tak kau lihat
langit begitu bersih
dan bulan...begitu menggoda

sumberkembar, 300899

kota putih

kota memaku jarak yang putih
dan kalian tak teraih

sumberkembar, 300899

sendiri

sepi yang letih
tawarkan rindu

hati yang beku
kini merintih

tertoreh luka
merahkan rasa

meniti hari
dalam sendiri

sumberkembar, 2nd week

pilu

ketika sajak
jadi teman bercakap
ketika mercury
menciptakan hujan emas
dijalanjalan

tapi orangorang nyinyir
"kirimkan saja bunga"

dingin
pilu
beku
 
orkestrasi angin

sudimoro, 050799

...

sepiku
membaur pada malam
diantara bintangbintang

dingin yang membeku
mengetuk redup kaca
dan bibir yang beku
kelu berucap :
dinda, dinda
mengapa kita begitu jauh

sudimoro, 010799

tanya

mungkinkah kita
telah bertemu
pada ruang dan waktu
yang salah

ataukah dirimu
dewi kahyangan
dengan air kehidupan
yang turun ke bumi
bagi jiwa yang meranggas

sudimoro, 010799

aku kini

kini
sepi memakuku
dalam kamar

dan kamu
masih menari
dibola mataku

sudimoro, 010799

tanpa nama

pada kelam malam
kelip cahaya seperti
kunangkunang atau kota
duaduanya tak terjamah

lalu kita nyalakan lilin
kembali pada jejak
dan berpurapura
pada sebuah cafe
bersama seorang gadis
tungkai panjang
diseberang

'aku tidak kenal kamu' katanya

putih asap rokok
dan bourbon yang hambar

apalagi kah yang penting
selain persetubuhan ini.

(tanpa judul)

akhirnya
sampailah pada sebuah pantai
seorang anak kecil telanjang kaki

renta

mengharapkanmu
seperti mengharap
camar pada pucuk daun

tapi waktu
melemparkanku ke depan

ketika rambut telah beruban
sapaan adalah petuah bagi gadis gadis

pada kali itulah
aku berdiri dalam kerentaan

malang, 161198

sisa

disini pagi
seperti buruburu datang
menghapus kehangatan
bagi jiwa yang kalah

lalu apa yang tersisa
pada malammalam kita
ketika bulan
begitu menggoda terjamah

mungkin kopi pada cangkir
mungkin puntung pada asbak

ah...
untuk apa
bukankah kita tak pernah
mencoba berdamai

malang, 161198

jiwa milik tuhan

kepergianmu seperti angin
tak berbekas
tak berjejak pada tanah yang terbelah
bahkan sendu tangis itu
lagu nina bobo mereka disebrang

kawan
tersenyumlah
lupakan marahmu
tinggalkan jadi gantimu disini
sebab jiwa milik tuhan

malang, 131198

ada yang pergi lagi

mungkin lima
tapi yang pasti
sudah dua lagi
pergi
entah kemana

disini
masih seperti dulu
memang sapa
seperti tak pernah sampai
 
pada duka
kita pun lupa

malang, 131198

dalam tujuh potong

aku mati
dalam tujuh potong
pada batu
tepi sebuah kali yang mengalir jernih
bersama burungburung
yang berlagu tentang pagi yang indah
tak ada darah jadi bukti
tanpa air mata kepedihan
bukan pula sebuah tumbal

aku mati
dalam tujuh potong

malang, 11 nov '98

hanya biru

ingin
aku kembali
melukisi langit
tanpa awan
kilat
atau bintangbintang
hanya biru
biru ...
 
sudimoro, 98

untuk apa

kau bilang tak usah ragu
untuk kebenaran
kau bilang tak usah takut
pada penindasan

sebab surga begitu luas
bagi jiwa yang tertindas

lalu kita maju bersama
kapak di kanan palu di kiri
lalu kita susun barisan
tinggalkan takut dibelakang

bandung, 98

dasar !!!

la la la la
la la la la

dibilang jelek
kok malah ketawa
dibilang rakus
malah terbahak

la la la la
la la la la

trus ikut ngejek
maki kebusukan
 
trus ikut teriak
kutuk K K N

la la la la
la la la la

dasar bunglon
dasar badak
dasar maling

bandung, 98

antara kita

antara kita
tak pernah ada kata
hanya satu titik
yang membawa
itu pun begitu jauh

entah
ada kenangan
atau tidak

tapi aku seperti takut
bahkan untuk sekedar mengeja namamu

bandung, 98

tak usai

ku coba susun kepingan nyaliku
jadi sebuah monumen
kupunguti dari jalanan dan bukubuku
diantara kata yang mengguyur
bagai hujan pagi hari
tentang omong kosong 
 
bandung, 98

peraduan

Seorang anak berangkat
Tidur dan tak kembali
 
“jangan bangunkan aku ma,
sebab mentari bukan lagi sahabatku”

biaung, 040902

merah

Tikamkan pisaumu di dada ini
Dan lihat !
Begitu merah cinta itu

biaung, 290802

bulan 3

Bulan limau retak semalam 
Dan aku tegak tenggelam

biaung, 280802


bulan 2

Beri aku puisi
Tentang bulan limau
Saaat kemarau di pulau

biaung, 270802

persetubuhan itu

Kita tahu semua jadi terlalu
Saat batas tak lagi membeku
Kita saling jamah
Dalam gerak gairah

Lalu aku terpaku
Pada waktu kelu berlalu
Begitu cepat kita menyatu
Sebab ketika ruang kembali

Dan desah begitu jauh
Ada yang datang bersamamu selalu
Membuang sauh ditepi
Dan merebut rinduku

Gedung-gedung memutih
Lampu-lampu memucat
Kota semati tugu
Detak berderak
Menyerah

Dalam kamar aku merangkak
Terjaga antara angan dan mimpi
Pada malammalam yang tak berbatas

purwakata, 170402

Wednesday, July 07, 2004

percakapan ombak

Akhirnya aku harus kembali ke pantaiku. Ketika pasang telah berakhir dan jejak hadir kembali. Sementara bulan yang purnama semalam masih menyisakan bekas arang sisa persembahan dewa. Pada saat-saat seperti itulah biasanya kuhujamkan tubuh ke pasir. Mencoba menghitung tiap butirnya berharap pada lupa. Tapi ombak seperti tak peduli. Tak pernah bosan mencibir. Mengejek. Mengoyak-ngoyak tubuhku seolah-olah potongan kayu dari seberang.

Pantaiku adalah padang-padang pekuburan. Padang-padang bertonggak nisan bergambar malaikat tanpa sayap. Sedang ombak adalah para cecurut yang mengusik terompah. Tapi aku suka mereka. Sebab ditempat seperti ini angin pun seperti enggan bersapa. Jika sudah demikian biasanya aku akan berdebat dengan mereka.

Dan apa yang mereka bilang ketika kuceritakan tentang dirimu ? Mereka malah mengataiku sebagai seorang pemimpi di siang hari. Tapi adakah cinta tanpa mimpi. Pernah sekali ku coba. Tapi gagal. Tubuhku jadi tak bertenaga. Lemas lepas seluruh tulang. Pucat menjalar ke jari-jari. Maka sejak itu kuputuskan, tak ada cinta tanpa mimpi. Tentu bukan mimpi yang melenakan. Tapi mimpi yang dapat membangkitkan jiwa dan seluruh daya cipta. Mendengar kata-kataku ombak-ombak malah mentertawaiku. Katanya,” kamu sekarang berubah dari seorang pemimpi menjadi seorang utopis.”

Mimpi, Cinta. Dua kata yang selalu membayang. Entah sampai kapan. Mungkin seorang dewi sedang menanti diujung sana. Dengan sebuah senyum. Mungkin. Tapi kapankah aku sampai. Sedang langkah tak setegar dulu. Dan di barat langit seperti cepat sekali merah.

Mungkin, pantaiku adalah persinggahan terakhir dan ombak-ombak adalah kekasihku abadi.

pantai 1

ketika mentari menyisakan semburat panjang di timur
kemanakah perginya jejak pada pantai
sedang karang yang sendiri berkerak
mencoba garang pada ombak

bulan 1

bulan tersobek semalam
dan paragraf terakhir kisahmu pun hilang