Wednesday, July 07, 2004

percakapan ombak

Akhirnya aku harus kembali ke pantaiku. Ketika pasang telah berakhir dan jejak hadir kembali. Sementara bulan yang purnama semalam masih menyisakan bekas arang sisa persembahan dewa. Pada saat-saat seperti itulah biasanya kuhujamkan tubuh ke pasir. Mencoba menghitung tiap butirnya berharap pada lupa. Tapi ombak seperti tak peduli. Tak pernah bosan mencibir. Mengejek. Mengoyak-ngoyak tubuhku seolah-olah potongan kayu dari seberang.

Pantaiku adalah padang-padang pekuburan. Padang-padang bertonggak nisan bergambar malaikat tanpa sayap. Sedang ombak adalah para cecurut yang mengusik terompah. Tapi aku suka mereka. Sebab ditempat seperti ini angin pun seperti enggan bersapa. Jika sudah demikian biasanya aku akan berdebat dengan mereka.

Dan apa yang mereka bilang ketika kuceritakan tentang dirimu ? Mereka malah mengataiku sebagai seorang pemimpi di siang hari. Tapi adakah cinta tanpa mimpi. Pernah sekali ku coba. Tapi gagal. Tubuhku jadi tak bertenaga. Lemas lepas seluruh tulang. Pucat menjalar ke jari-jari. Maka sejak itu kuputuskan, tak ada cinta tanpa mimpi. Tentu bukan mimpi yang melenakan. Tapi mimpi yang dapat membangkitkan jiwa dan seluruh daya cipta. Mendengar kata-kataku ombak-ombak malah mentertawaiku. Katanya,” kamu sekarang berubah dari seorang pemimpi menjadi seorang utopis.”

Mimpi, Cinta. Dua kata yang selalu membayang. Entah sampai kapan. Mungkin seorang dewi sedang menanti diujung sana. Dengan sebuah senyum. Mungkin. Tapi kapankah aku sampai. Sedang langkah tak setegar dulu. Dan di barat langit seperti cepat sekali merah.

Mungkin, pantaiku adalah persinggahan terakhir dan ombak-ombak adalah kekasihku abadi.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home